Kamis, 14 Juli 2016

Billy, I Love You




            Disebuah kamar berukuran 2x2 meter, di dindingnya yang berwarna biru muda tertempel poster minion. Dua orang gadis sedang berbicara. Bella dan Linda nama mereka. Gadis cantik berambut pendek lurus bertanya pada temannya.
            “Bel, kamu suka sama Kak Billy?” Tanya Linda pada temannya yang berambut ikal panjang dan menawan.
            “Ya enggaklah, aku cuma kagum aja sama Kak Billy,” elak Bella.
            “Serius nih....,” Linda menatap wajah temannya, “Kalo aku ngomongin tentang Kak Billy kamu selalu menghidar. Nah loh, wajahmu kok jadi merah.”
            “Ah, itu cuma perasaan kamu aja...” Bela memalingkan wajahnya. “Lagian sekarang udah hampir  tengah malem. Kamu tidur sana!” Kata Bella sambil menguap dan mengambil bantalnya.
            “Kamu ngusir aku, nih... Tapi aku bakal terus tiduran di sini sampe kamu ngaku kalo...”
            “Ngaku apa sih? Aku gak ngerti,” Bella memotong perkataan Linda lalu menjatuhkan dirinya di tempat tidur single dan tiduran di sebelah Linda.
            “Aku bakal terus tiduran di sini sampe kamu ngaku kalo kamu suka sama Kak Billy,”
            “Aku kan dah bilang kalo aku cuma kagum sama Kak Billy, gak lebih dari...”
            “Gak lebih dari apa?” Tanya Linda
            Bella tidak menjawab pertanyaan Linda. Dia sendiripun sebenarnya tak mengerti perasaannya kepada Kak Billy. Dia selalu berdebar-debar dan salah tingkah bila berada dekat Billy. Beberapa hari terakhir ini, pikirannya dipenuhi dengan Billy. Dan Linda selalu bisa menebak apa yang sedang dia rasakan sehingga dia tak bisa berbohong pada Linda.
            “Kamu suka sama Kak Billy. Kamu udah gak bisa nyembunyiin itu. Kamu akhir-akhir ini selalu cari tau tentang Kak Billy dan kalo Kak Billy ikut kegiatan apa, kamu juga ikut.” Linda terus berbicara tanpa mempedulikan teman kosnya yang berusaha menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
            “Bel, ungkapin aja perasaannmu ke Kak Billy,” kata Linda sambil menatap langit-langit kamar.
            Bella menyingkirkan bantal dari wajahnya lalu menoleh pada temannya. “Aku malu, Lin. Huammm.. Udah ah, aku ngantuk, aku mau tidur.”
*
Pagi-pagi Bella sudah ada di kampus. Kampus mungil yang terletak di selatan kaki Gunung Slamet itu terlihat asri dan sejuk. Bella berjalan menuju ke taman kampus dan duduk di salah satu gazebo dan duduk di sana menunggu kuliah dimulai.
Dia membuka tasnya dan mengeluarkan tempat makan yang telah dipersiapkannya. Dia rela bangun pagi demi menyiapkan seporsi sarapan lengkap untuk seseorang yang selama ini mengisi relung hatinya.
‘semoga dia suka.’ Bella berdoa dalam hati.
            “Pagi!” sapa seorang pemuda padanya.
            “Pagi!”
            Bella mendongak melihat siapa yang menyapanya.
            Deg!!!
            Ternyata Billy, kakak kelasnya sekaligus Ketua Himpunan Mahasiswa di jurusannya. Billy duduk dihadapan Bella.
            “Kamu kuliah pagi?”
            “Iya, kak.”
            Billy mengambil hpnya dan memainkannya. Bella masih memegang tempat makan itu. Dia bingung bagaimana cara memberikannya pada Billy.
            ‘duh, masa aku harus ngungkapin duluan,’ kata Bella dalam hati.
            “Kamu ikut piknik ke Pantai Menganti?”
            “Eh... A..Apa, kak?” Bella tersentak. Bella begitu asik dengan pikirannya sendiri hingga dia tidak mendengar pertanyaan Billy.
            “Itu... Soal piknik ke Menganti, kamu ikut?”
            Selama ini Billy tidak pernah mengajaknya pergi secara pribadi. Billy selalu mengajaknya berkaitan dengan kegiatan kampus. Billy juga sering membuat acara piknik bersama anggotanya. Asalkan bukan ke pantai, Bella pasti ikut.
            “hmmm... kayaknya aku gak ikut deh, Kak.”
            “Loh, biasanya kamu selalu pengin ikut kalo aku ngadain acara piknik,”
            “Kali ini gak, kak. Aku ada urusan.” 
            “Kamu gak makan bekalnya?” Tanya Billy ketika melihat tempat makan yang dipegang Bella.
            “Eh, oh iya, Kak. Tadi pagi aku masak. Kakak mau coba?”
            Bella membuka tempat makannya dan menunjukkannya pada Billy.
            “Wah, keliatannya enak nih,”  kata Billy sambil melirik kotak makan yang berisi nasi goreng lengkap dengan telor ceplok.
            Bella melihat ke ruang kelas di seberang gazebo lalu memberikan tempat makan itu pada Billy. “Ini, nasi gorengnya buat kakak. Aku masuk kelas dulu.”
            “Bel, kamu gak makan nasinya?”
            “Aku udah sarapan, Kak.” Bella bangkit dan berjalan menuju kelasnya.
Billy bergantian memadangi kepergian Bella dan kotak makan yang ada di tangannya. Billy bingung dengan sikap Bella akhir-akhir ini yang begitu perhatian padanya. Apakah gadis itu memiliki perasaan padanya.
*
Sudah satu jam Bella membolak-balik diktat kuliahnya tanpa berminat membacanya. Pikirannya dipenuhi oleh bayang-banyang Billy. Bella menggaruk kepalanya karena dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kuis esok.
‘kamu harus konsen belajar. Jangan pikirin Kak Billy terus,’ kata Bella dalam hati.
Dia mencoba membuka diktat kuliahnya lagi dan mulai membacanya akan tetapi tak lama kemudian dia menutup buku itu. Dia bangkit dari kursinya. Saat dia bangkit, tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Sakit kepala yang dideritanya akibat benturan dengan benda keras saat bencana tsunami masih kerap dia rasakan. Dia segera menuju ranjangnya dan tidur.
*
Saat itu Bella masih berusia 4 tahun dan dia masih belum tahu apa-apa. Bella kecil diajak bertamasya oleh Bibinya ke Pantai Pangandaran.Dia begitu asik bermain dengan Bibinya hingga peristiwa alam itu terjadi.
Gempa besar berkekuatan 8 SR mengguncang Pantai Pangandaran dan sekitarnya. Gempa itu cukup lama. Orang-orang belum sempat menyelamatkan diri ketika gempa susulan disertai ombak besar datang menyapu pantai dan daerah yang berada di sekitar pantai.
Bella yang ikut terseret dalam arus ombak besar itu terus memegangi tangan bibinya hingga pegangan tangannya itu terlepas. Gadis itu pun terpisah dari bibinya dan dia terbentur oleh suatu benda keras.
Tubuh Bella kecil ditemukan beberapa jam setelah kejadian itu. Dia segera dilarikan ke rumah sakit di Bandung karena lukanya sangat parah. Karena benturan keras di kepalanya, Bella koma selama berbulan-bulan. Saat dia sadar, dia terus memanggil orang tuanya. Namun, karena Bella masih kecil, dia tidak bisa menyebutkan nama orang tuanya. Dia hanya memanggil “Ayah.... Ibu.... Kak Yoga....” tanpa tahu nama keluarganya yang sebenarnya.
*
            Bella terbangun karena mimpi yang baru saja dia alami. Mimpi akan bencana tsunami yang pernah dia alami. Dia masih trauma dengan kejadian itu. Itulah sebabnya dia menolak ajakan Billy untuk pergi ke Pantai.
            Kini Bella diasuh oleh orang tua angkatnya. Setelah Bella dinyatakan sehat oleh tim medis, Bella dititipkan di panti asuhan hingga ada keluarga yang mengadopsinya.
            Hingga saat ini, dia masih sering berpikir, ‘Apakah keluargaku kandungku masih hidup? ‘ atau ‘Apakah orangtuaku tidak mencariku saat bencana itu terjadi?’ atau ‘Bagaimana nasib bibinya?’. Tapi dia bersyukur karena dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Orang tua angkatnya telah mengurusnya dengan baik.
            Dia melirik jam dinding. Masih jam 8. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan malam. Dia berjalan-jalan tanpa arah tujuan. Dia terus berjalan hingga kakinya terhenti di depan kos-kosan cowok.
            *
            “Penelitian.... ini... disajikan... dengan.... metode... kualitatif.......”
            Billy mengetik sambil mengeja kata-kata dalam skripsinya ketika hpnya berbunyi.
            “Halo... Kenapa, Bel?”
            “Kakak bisa turun sekarang?”
            “Ada apa ya, Bel?”
            “Udah, kakak turun aja sekarang...”
            Billy menuruti permintaan Bella untuk turun dari kamar kosnya dan mendapati Bella sedang duduk di ruangan khusus untuk menerima tamu.
            Bella langsung bangkit ketika Billy datang. Billy agak bingung melihat gadis itu karena dia tidak seperti biasanya. Gadis dihadapannya itu terlihat bingung dan berantakan. Walaupun begitu, dia masih terlihat cantik.
            “Kak, aku bilang sesuatu,” kata Bella
            “Ya udah, bilang aja. Tapi kamu duduk dulu ya,” kata Billy sambil membimbing adik kelasnya duduk di kursi kayu lalu dia sendiri duduk di hadapannya.
            Bella melihat cowok dihadapannya dan menarik napas dalam-dalam.
            “Kak, a-a-a-aku... a-a-ku...” Bella terbata-bata mengungkapkan perasannya.
            “Kamu kenapa Bella?” Tanya Billy.
            Billy memperhatikan Bella. Rasanya lucu melihat Bella seperti itu. Billy jadi penasaran, apa yang akan dikatakan Bella.
            Bella memutuskan lebih baik dia tidak mengungkapkan perasaannya. Dia bangkit.
            “Kak, kayaknya aku pulang aja.”
            Bella ingin keluar dari ruangan itu tapi Billy memegangi lengannya. Billy menahan Bella pergi karena dia penasaran apa sebenarnya yang ingin dikatakan gadis ikal itu.
            “Kamu mau bicara apa? Bicarain aja biar kamu lega,”
            “Kak, aku... a-aku suka sama Kak Billy.”
Akhirnya pengakuan itu keluar dari mulut Bella. Setelah mengucapkan itu, Bella melepaskan tangan Billy dan berlari keluar. Dia lega sekaligus malu.
Billy kaget mendengar pengakuan Bella. Dia cukup lama untuk menyadari bahwa Bella sudah tidak ada di ruangan itu.
“Bel... Bella,” panggil Billy.
Billy keluar dan mengejar Bella.
Bella bisa mendengar panggilan Billy. Dia terus berlari. Namun dia bukan pelari yang baik. Sebentar saja Billy sudah dapat menangkap tangannya. Billy memegang pundak Bella dan menatap Bella.
“Bel, selama ini aku dah nganggep kamu kaya adik aku sendiri. Tapi gak ada salahnya kalo kita pacaran,”
“Kak Billy nerima aku...” kata Bella tidak percaya.
“Iya, Bel.” Billy menggenggam tangan Bella.
*
Pag-pagi, Bella dan Linda sudah berjalan di lorong rumah sakit. Satu per satu nomor di pintu kamar mereka lihat hingga mereka menemukan nomor kamar yang mereka cari. Mereka membuka pintu dan seorang Billy terbaring di sana. Kakinya dibalut gips.
Bella menaruh parsel buah di meja dan duduk di samping ranjang Billy serta Linda duduk di ujung tempat tidur.
“Ini gara-gara aku, Kak Billy jadi kaya gini,”
“Ini bukan salah kamu, ini gara-gara semalem aku naik motornya meleng,”
“Begitu denger Kak Billy kecelakaan, Bella langsung panik,” sambung Linda, “oh ya Bella udah cerita. Kalian udah pacaran ya?”
“Iya, semalem Bella yang nembak.” Billy melirik nakal kepada Bella. Bella hanya tersenyum malu dilirik seperti itu.
“Oh ya, temen-temen yang lain ngebatalin acara piknik ke pantai hari sabtu besok begitu denger kalo Kak Billy kecelakaan,” kata Linda.
Billy baru akan membuka mulutnya ketika seorang wanita berusia setengah abad masuk ke kamarnya.
“Loh, ada teman-temannya Yoga.”
Bella dan Linda menyalami Ibu Billy. Samar-samar Bella mengingat wajah itu. Bella terus mengamati wajah wanita itu.
“Loh, Kak Billy dipanggil Yoga di rumah ya,” celetuk Linda.
“Iya. Nama aku Yoga Billy Firmanda. Kalo di rumah dipanggil Yoga, tapi temen-temen lebih suka panggil Billy...”
“Kak Yoga...” Tiba-tiba Bella memanggil nama kakaknya itu.
Bella masih menatap wanita itu hingga Ibu Billy heran.
“Kamu kenapa, nak?” Tanya Ibu Billy kepada Bella.
“Ibu...” tiba-tiba Bella menangis dan memeluk Ibu Billy. Walaupun saat itu Bella masih kecil, tapi Bella tidak pernah lupa dengan wajah itu.
“Nak...”
“Ibu, ini Bella. Bella selamat dari bencana tsunami itu...” kata Bella disela tangisnya.
“Nak, jadi kamu masih hidup.” Ibunya mengelus kepala anaknya itu.
Pertemuan ibu dan anak itu terasa sangat mengharukan. Selama 16 tahun Bella selalu bertanya-tanya tentang keluarganya. Billy dan Linda bingung dan kaget melihat peristiwa yang baru saja terjadi di depan mereka.
Bella melepaskan pelukannya dan menatap Billy. Bella berjalan mendekati Billy. “Berarti Kak Billy itu Kak Yoga, kakak kandungku,” Bella masih menangis sedih karena cowok yang dia cintai adalah kakaknya sendiri.

SELESAI       

Minggu, 12 Juni 2016

Sepenggal Cerita dari Kawanku, Penderita SAD

Sudah lama ku tak jumpa dengan kawanku. Ku rindu dengannya. Sejak lulus SMP, dia tak pernah memberi kabar padaku. Ku coba bertanya ke sana-sini, bertanya pada tetangganya tentang kabarnya. Yang kudengar, dia tak keluarganya sudah pindah keluar kota. Tak ada yang tau dimana alamatnya.
Saat itu, aku sedang asik membuka facebook. Aku menemukan nama akun yang mengingatkan diriku tentang kawanku. Aphrodite. Dewi Cinta dari Yunani. Dulu kawanku itu sangat menyukai nama itu.
"Ah mungkin juga bukan dia," kataku dalam hati. Karena penasaran, aku klik 'tambah pertemanan'.
Beberapa hari kemudian, dia mengkonfirmasi. Aku kirimi dia pesan, dan kutanyakan kabarnya. Dia tak menjawab. Aku jadi ragu kalau dia bukan kawanku.
Walaupun ragu, aku terus ingin tahu apa yang dia posting di akunnya. Namun kenyataannya dia tak pernah memposting tulisan apapun. Aku menduga dia betul-betul menjaga privasi akunnya supaya tak semua orang melihat apa yang dia posting.
Beberapa hari kemudian, ada orang yang menulis di berandanya.
"Aku dikeluarin dari grup SAD."
Aku mulai bingung apa itu grup SAD. Bukanya SAD dalam bahasa Inggris berarti 'sedih'. Penasaran, aku cari grupnya dan ketemu. Ternyata SAD adalah singkatan dari Social Anxiety Disorder atau dalam bahasa Indonesia berarti Fobia Sosial. Aphrodite ikut bergabung di grup itu. Aku mengirim permintaan untuk bergabung di grup itu dan langsung disetujui.
 Aku kaget melihat jumlah anggota di grup itu yang mencapai angka 1000. Aku telusuri postingan-postingan di grup itu. Banyak anggota grup itu yang mengatakan mereka terlalu cemas untuk bersosialisasi. Bahkan ada yang bertahun-tahun tidak bersosialisasi.
Kutemukan banyak postingan Aphrodite di grup itu.

"Aku pengin banget keluar rumah tapi takut dibully. Oh Fobia Sosial, aku pengin cepet sembuh kaya orang-orang normal" 
" Dulu, aku punya temen SMP satu-satunya. Namanya Nina. Dulu sepertinya dia satu-satunya orang yang ngerti aku. Disaat teman-teman lain membully aku, dia satu-satunya teman yang ada untuk membelaku. Saat lulus SMP, dia jadi juara umum. Itu bikin aku minder. Sejak saat itu aku mulai menjauh dari Nina gara-gara minder. Belum lama ini dia ngeadd aku. Aku liat profilnya. Dia jadi tambah cantik dan dia udah kerja di perusahaan BUMN. Aku mah apa. bertahun-tahun ngurung diri di rumah. Gak kerja karena terlalu cemas untuk keluar rumah. Udah terlanjur nyaman nganggur bergantung sama orangtua."
Ternyata Aphrodite benar-benar kawanku. Dia menyebut namaku secara blak-blakan. Sejak dulu temanku memang selalu terlihat murung dan tertutup. Aku baru tahu kalo selama ini dia minder sama aku.